TOoooooOOOoooMMMmm……………..
Nurul Anisa |
“Pakne Erna, ayo sarapan”. Panggil
perempuan buncit yang terlihat kedodoran yang juga menyelesaikan menyapu lantai
rumah. Laki-laki itu berjalan ke arah suara tersebut dan menghampiri istrinya
untuk diajak serta menikmati sarapan pagi ini. Usai sarapan, sang anak yang
telah rapi bergegas ke teras untuk menunggu ayah yang siap mengantarnya ke
sekolah.
“Saya mengantar
Erna sebentar ya?” kata laki-laki itu tersenyum. Sang istri mengengguk setuju penuh
pengertian.
Rumah
berubah menjadi sepi, perempuan buncit itu merebahkan tubuhnya di ranjang, ia
nampak gelisah, rasa sakit di perutnya sudah ia rasakan sejak tadi malam. Tidak
lama kemudian, sang suamipun datang, wajah perempuan itupun berubah menjadi
cerah dan tidak cemas lagi. Waktupun berlalu, rasa sakit tiba-tiba datang,
wanita itupun merintih menahan sakit, mendengar itu sang suami langsung
menghampiri untuk berpamitan memanggil Dukun Bayi Mbok Warmi.
Waktu
berlalu, lama Mbok Warmi menunggu kelahiran Sang Bayi dari rahim Ibu. Entah
mungkin karena khawatir, sehingga Ayah terlalu terburu-buru memanggil Dukun,
satu jam telah berlalu, kopi yang dibuatkan ayahkupun sudah tinggal satu teguk
lagi habis. Tiba-tiba ada seseorang yang mencari Mbok Warmi, setelah berbicara
sebentar, orang tersebut meminta ijin ayahku bahwa Mbok Warmi akan diajak
pulang sebentar, ayahku mempersilahkannya. Rumah sederhana itu kembali lengang,
sang suami sengaja hari ini tidak berangkat bekerja karena menunggui anaknya
yang akan lahir.
Sekitar
setengah jam kemudian, tiba-tiba Istrinya merintih kesakitan, ia segera
beranjak pergi untuk menjemput kembali Dukun Bayi. Ketika Mbok Warmi datang,
ketuban ibu telah pecah, dengan lembut Mbok Warmi menenangkag Ibu yang sudah
tidak berdaya itu setelah sebelumnya beliau memerintahkan Ayah memanggil Bidan
Aswatun.
Ayah dan Bu
Bidan sampai dirumah disambut oleh tangisan Bayi, ayah tersenyum bahagia dan Bu
Bidan segera ikut nimbrung menolong persalinan Ibu. Sang Bayi diberikan oleh
Mbok Warmi kepada Ayah, Beliau menyambutnya dengan gembira, ia dekatkan
mulutnya ke telinga kanan sang bayi untuk kemudian dikundangkan adzan, dan
disusul telinga kiri dengan bacaan Iqomah.
Seluruh yang hadir di persalinan Ibuku siang
itu ikut berbahagia, mereka semua bersyukur kepada Allah atgas kelahiranku ini,
ayah sangat bersyukur hingga matanya beerkaca-kaca, hari ini, senin legi, 18
Oktober 1999 bertepatan dengan 8 Rajab 1420, sekitar pukul 11.00 WIB, anaknya
lahir dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. Kebahagiaan keluargaku
makin lengkap ketika kakakku datang dari sekolah, ia langsung menghambur dan
menciumku dengan lembut, mungkin takut kalau aku terbangun dari tidurku.
Tidak
seperti biasa yang terjadi di kasmpungku, upacara pemberian nama untukku tidak
dilakukan ketika umurku 7 hari, tapi dilaksanakan ketika aku berumur 40 hari.
Untuk mengakikohiku, ayah menyembelih seekor kambing jantan yang sangat besar,
meski begitu, upacara pelaksanaan pemberian nama dilaksanakan dengan sangat
sederhana, namun hal itu sama sekali tidak mengurangi makna dari peristiwa
kelahiranku. Upacara selamatan dilaksanakan dengan mengundang para sedulur, dan
tetangga. Maksud dari ritual selamatan ini adalah meminta kepada seluruh yang
hadir di selamatan untuk secara bersama berdoa atas keselamatan keluarga kami
dan khususnya untukku, bayi mungil yang baru lahir. Aku diberi nama Nurul Anisa
yang artinya “wanita yang bercahaya”.
Biduk rumah
tangga orang tuaku berubah, sesudah kelahiranku rizki keluargaku menjadi sulit.
Allah menguji kekuatan kami saat itu, ayah jarang bekerja, kalaupun bekerja
entah karena apa, tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, semua menjadi berat
dan sulit. Namun ayah adalah seorang laki-laki yang kuat dan gagah dalam
menghadapi cobaan hidup, beliau tidak pernah menyalahkan kelahiranku, beliau
ikhlas dengan tetap berusaha sekuat tenaga menghadapi cobaan ini. Beliau tidak
cemas, apalagi takut menghadapi masa depan keluarga, kebijaksanaan ayah inilah
yang membuatku kagum dan sayang kepada Ayah.
Parso
adalah nama ayahku, nama yang sederhana seperti pandangan hidupnya, nama yang
kuat seperti jiwanya, sekaligus nama yang lembut seperti kasih sayangnya kepada
keluarga. Ibuku bernama Rohmiati, wanita sederhana yang sangat menyayangi
keluarga dan sabar, sabar menjagaku, merawatku, sekaligus menghadapi
kenakalanku. Aku juga mempunyai seorang Kakak yang sangat menyayangiku, namanya
Mbak Erna Afriana.
Masa
kecilku aku lalui dengan penuh keceriaan, dulu aku dikenal oleh tetanggaku
sebagai anak yang nakal, bandel, ceriwis, dan menggemaskan. Kira-kira saat
umurku 18 bulan, aku menonton televisi bersama Ibu dan Budeku, tanpa aku sadari
aku tertidur di lantai, akhirnya ketika Ibu dan Budeku mengantuk, mereka
berduapun juga ikut tidur di lantai tersebut. Ketika malam telah larut, aku
terbangun, suasana sangat sepi dan lengang, namun kulihat TV masih menyala. Aku
bermaksud untuk mematikan TV tersebut dengan mencabut Stop Contak yang
tergeletak di samping TV. Namun tiba-tiba saat aku mencabutnya, aku
tersetrum…!!!
“Toooooooooooooommmmm!!!!!????”
itu teriakan dari mulutku yang masih pelat atau belum fasih bilang setrum karena menahan sengatan listrik tegangan
tinggi dan kemudian “Bruk!” akupun jatuh ke lantai.
Paginya
seluruh saudara dan tetangga mengerubuti aku yang masih lemas digendong Ibu,
mereka tidak sadih ataupun prihatin dengan peristiwa naas yang menimpaku tadi
malam, tapi mereka malah menertawakannya.
“Piye,
Nduk? Rasane kesetrum?” itulah yang selalu ditanyakan kepadaku oleh setiap
orang yang ada di sekitarku, dan dengan penuh semangat akupun menceritakan
peristiwa tadi malam dengan gerak tubuh mungil dan bahasaku yang masih
belepotan. Dan yang membuat mereka tertawa ternyata bukan hanya gaya
berceritaku yang menggemaskan, tapi suara teriakanku yang ternyata tidak ada
hubungannnya dengan rasa sakit. Biasanya ketika anak kecil sedang kesakitan,
maka ia akan berteriak “aduuuhhh!!!”, “athoooo!!!”, atau memanggil
“Maaa’eeeeee!!!”, atau teriakan yang lain, tapi ini kok malah teriak
“Toooooommmm!!!?”.
Aku tumbuh
dengan segudang cerita ceria dxan lucu, diantaranya begini sahabat pembaca,
saat usiaku telah 2,5 tahun, aku meminta ayah agar menyekolahkan aku. Namun
ayahku tidak mau karena katanya aku masih terlalu kecil, akupun marah dan
mutong, tapi ayah tetap tidak mau menuruti kemauanku, Ibupun ikut menasehatiku
agar aku bersabar satu atau dua tahun lagi, karena saat itu usiaku belum pantas
untuk sekolah. Akupun marah dan menangis sejadi-jadinya, aku berteriak-teriak
minta sekolah, sementara ayah dan Ibuku tidak bergeming dan tetap kukuh dengan
pendiriannya. Aku tidak mau kalah, aku tambah volume tangisku yang melengking
seolah membelah langit, air mataku deras mengalir bagai air hujan, ingusku
menetes dari hidung dan bergelantungan di bibir mulutku seperti stalakmit gua
maharani lamongan. Menyaksikan itu semua, akhirnya Ayah menyerah meski tidak
menyerah total, beliau menyerah dengan syarat yang harus aku patuhi, yaitu aku
tidak boleh nakal ketika nanti di sekolah, akupun mengangguk setuju.
Syarat yang dibebankan kepadaku oleh Ayah,
adalah syarat yang sederhana dan mudah bagiku untuk melaksanakannya, ini
terbukti dengan nilai semester pertamaku bagus dan juga nilai akhlakku. Namun
pada semester berikutnya, yaitu semester 2, aku mulai lupa dan mengabaikan
perjanjian keramat dengan ayahku, aku berubah lagi menjadi anak yang usil,
bandel, dan nakal. Hal ini terbukti dengan nilaiku yang tetap bagus di semester
2 ini, tapi buruk dalam nilai akhlak dan tingkah laku. “ Waduh… jadi malu, dech…!!?”
Aku lulus
Tk tahun 2002/2003, kemudian melanjutkan di MI Al-Islah. Pada saat Ujian Nasional
hari ke-3, tiba-tiba aku sakit. Saat itu ujian soal Matematika, akupun tidak
mengerjakan soal, aku hanya mengisi identitas saja. Ketika salah satu pengawas
UN melihatku sakit, maka ia memanggil Bapak Kepala Sekolah dan meminta beliau
untuk mengantarkanku pulang. Aku pun diantarkan pulang dan soal ku dikerjakan
oleh temanku yang bernama Desi.
Al-hamdulillah
aku lulus. Aku lulus MI tahun 2009/2010 dan melanjutkan di MTs NU Tengguli, lulus
Tahun 2012/2013. Kemudian aku melanjutkan ke Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama
Tengguli, sekarang aku duduk di kls X.
Di kelas X
ini aku di beri tugas oleh Bpk Ali Burhan untuk membuat sejarah kelahiranku,
dan saat melakukan penelitian, aku menemukan benda-benda artefak seperti:
popok, baju, dan topi. Tapi, sekarang benda-benda artefak itu sudah turun
temurun dipakai keponakan-keponakanku. Aku juga menemukan mainan-mainanku dulu
disaat aku masih kecil, mainan itu di simpan ibuku di kardus dan ditaruh di
gudang. Aku juga menemukan tempat minumku dulu saat aku masih TK, setiap hari
aku selalu membawa tempat minum itu ke sekolah.
Sudah dulu
ya, Aku sudah lelah bercerita, Mohon maaf apabila ada kesamaan Nama, Cerita, Tempat,
dan Kejadian Perkara, he… he… he…
Ceting = tempat nasi dari bambu
Coek =
cobek
Pakne Erna
= Bapaknya Erna, Adat jawa pesisiran, memanggil suami dengan nama anaknya yang
pertama.
Mutong =
marah
Comments