WAWANCARA DENGAN SUJIWOTEJO

Malam makin menggigit suasana di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari Bangsri ketika kami menemui beberapa crew Sujiwo Tejo untuk menyampaikan maksud kami yang hendak mewawancarai beliau. ketika kami dipersilahakan masuk ke aula tempat peristirahatan beliau, jam telah menunjukkan pukul 21.10. Terbaca jelas dari matanya, beliau tampak lelah setelah semalam suntuk bermain Wayang sebagai Dalang dengan membawa lakon DewoRuci dan paginya langsung konser Tolak PLTN bersama Warga Balong di Lapangan Balong Desa Balong Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 Jum'at, 16-17 Agustus 2007 lalu. Namun beliau masih menunjukkan keramahannya ketika menerima kami. Dalam Wawancara tersebut, kami lebih banyak focus terhadap masalah kebangsaan. Untuk lebih asiknya kita simak bersama petikan wawancara tersebut.

Mas Suji (panggilan akrab beliau), Indonesdia adalah Negara Kebangsaan, menurut anda Kebangsaan itu apa?
Bangsa itu bsebenarnya kan sesuatu yang abstrak, alias tidak nyata, yang kongkrit itu ya Suku. Jawa, Sunda, Madura, atau Batak misalnya, itukan kongkrit. Secara fisik, bahasa, dan budaya itu ada. Saya misalnya, Madura! jelas saya punya fisik Madura, Bahasa Madura, dan budaya Madura. Lain dengan Bangsa, Bangsa Indonesia, Bangsa itu apa? gimana? dan dimana? begitu juga Indonesia, Indonesia itu apa? bentuk kongkritnya seperti apa? kan gak jelas, gak kongkrit, alias abstyrak.
Bisa dijelaskan Mas, keabstrakannya itu seperti apa?
Bangsa itu sebenarnya kan sebuah konsep, bukan sesuatu yang kongkrit. Kita bisa melihat sejarah bagimana Bung Karno dalam mengkonsep Kebangsaan kita. Bung Karno dalam mendefinisikan Bangsa, beliau mengatakan bahwa Bangsa adalah suatu kelompok Masyarakat yang mempunyai sejarah dan nasib yang sama dalam kurun waktu yang lama. Jadi dengan konsep kebangsaan ini Bung Karno bermaksud menyatukan seluruh suku-suku yang hidup di Nusantara ini. dengfan argumen bahwa Bangsa Indonesia saat itu sedang dan telah mempunyai kesamaan nasib dan sejarah yang sama, yaitu dijajah oleh Bangsa Asing. Nah, saat itu Bung Karno berhasil karena konsep Kebangsaan beliau sesuai dengan realitas social masyarakat Indonesia saat itu.
Mas Suji, Kenapa pada saat ini rasa kebangsaan itu memudar?
Nah, itu masalahnya, karena bangsa itu hanya sebuah konsep dan abstrak, maka harus ada upaya untuk meyakinkan Rakyat Indonesia bahwa ia orang Indonesia, bagian dari Bangsa Indonesia. Ini penting! kita lihat sekarang, teman-teman kita yang kuliah di Luar Negeri, AS, Eropa, atau Timur Tengah. dalam kurun waktu satu, dua, atau tiga tahun, ia masih mengaku orang Indonesia, tapi setelah sekitar sepuluh tahun ia meninggalkan Indonesia, ia akan merasa asebagai orang Jawa, Sunda, Batak, Irian, dan lain-lain. Patriotisme Kebangsaannya terkikis, yang muncul adalah rasa kesukuan yang dari sini bibit-bibit fanatisme sempit terhadap suku atau rasnya. Bukti lain misalnya, ketika terjadi kasus Sipadan dan Ligitan yaitu perebutan pulau antara Bangsa Indonesia dan Malaysia, setiap media, baik cetak maupun elektronik, melansir secara besar-besaran. Tapi apa respon Masyarakat? mereka cuek, hanya jadi bahan obrolan warung kopi tanpa ada rasa keprihatinan yang berarti. walaupun ada yang peduli, itu hanya sedikit.
Apa yang harus kita lakukan?
Sebenarnya ada dua hal yang harus kita lakukan untuk mengembalikan ruh kebangsaan itu. Pertama, lewat jalur Simbol. Problemnya sekarang adalah, sebagai Bangsa kita kurang ada ritual kebangsaan. Jarang sekali kita temui upacara-upacara kebangsaan, kecuali pada HUT Kemerdekaan. dan Kita lihat sekarang, Upacara-upacara bendera HUT Proklamasi Kemerdekaan, hanya milik para Birokrat, Politisi, dan kalangan-kalangan tertentu dan terus terang saja upacara-upacara semacam itu sudah kehilangan ruhnya. Sementara rakyat, dengan caranya sendiri merayakan dengan pesta berbagai lomba, balap karung, panjat pinang, dll. Sehingga dari sini, jurang pemisah antara rakyat dan penguasa semakin jauh, masyarakat enggan berfikir tentang patriotisme karena terhimpit urusan perut, sementara para pejabat dan birokrasi tidak ada waktu untuk berfikir tentang negeri ini karena sibuk berebut lahan basah untuk kepentingan pribadi. Meskipun setiap pagi ada apel pagi sebelum jam kantor, itu tidak lebih hanya seremonial absensi masuk saja. Kemudian yang kedua, melalui jalur kongkrit. artinya mengkondisikan Indonesia kambali kepada konsep awal Berdiri. Saat ini konsep kebangsaan sudah tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan Rakyat Indonesia. Senasib seperjuangan sudah tidak ada lagi, sebagian kecil elit dan konglomerat bergelimang dengan harta, sementara sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat miskin, akses pendidikan hanya bagi mereka yang berduit, perlakuan hokum sangat berbeda antara miskin dan kaya. Anda lihat saja bagaimana nasib saudara kita di Irian, coba bandingkan dengan Jakarta, seperti langit dan Bumi. Ini yang harus menjadi perhatian kita, jika ingin Indonesia tetap satu, realisasikan konsep kebangsaan itu.
Dalam pementasan Wayang anda di Balong, anda sempat mengkritisi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bagaimana itu?
Ya, lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya itu seharusnya kan di amandemen, karena lagu tersebut bukan lagu adalah lagu nya para pemimpin, bukan lagu rakyat. Misalnya dalam syair “Bangsaku Rakyatku, semuanya”. Itu kan kata pemimpin kepada rakyatnya, jadi syair itu sangat sulit untuk menghunjam dalam jiwa rakyat saat ini. Misalnya dalam syair yang lain “Bangunlah badannya, bangunlah jiwanya”. Nah, kata ganbti “nya” disini kan menunjuk pada orang lain, bukan dirinya sendiri, jadi tidak menghimbau untuk membangun jiwanya sendiri, tapi himbauan untuk membangun jiwa orang lain. Ini sebenarnya akan mempengaruhi nalar kecintaan seseorang terhadap bangsa ini tanpa ia sadari. Akan sangat berbeda misalnya “Bangunlah badanku, bangunlah jiwaku, untuk Indonesia Raya”.
Sejauh mana peran agama dalam kehidupan berkebangsaan saat ini?
Setiap agama pasti ada dalil atau ajaran tentang bela Negara, atau cinta tanah air. Kalau orang dulu ngomong “kalau kamu hidup di tanah ini, maka kamu harus memberikan sesuatau ke tanah itu”. Kita lihat sekarang, para kaum agamawan dalam menyampaikan ajarannya terhadap jamaahnya, tidak lagi menekankan pada ajaran bela tanah air, tapi lebih pada bela agama. Ini penting, pemerintah harus serius dalam menangani masalah kebangsaan ini.
Menurut anda bagaimana peran NU dalam kehidupan berkebangsaan?
Masa kecilku, aku hidup dilingkungan NU, Islam cultural, di daerah jember. Islam pertama kali yang aku kenal; adalah islam cultural. Islam yang ramah dan berbasis buidaya local. Dari sini, peran NU dalam konteks kebangsaan, adalah sangat besar. Sebagai lambing Islam Kultural, Sunan Kalijogo saat itu sudah memprediksi bahwa suatu saat, Islam cultural akan bertentangan dengan Islam Formal. Sebagi bukti saat ini, Islam formal akan selalu bicara tentang formalisasi syari’at Islam, sedangkan di sisi lain, Islam cultural akan tetap mempertahankan konsep esensi ajaran beragama. Karena di NU atau Islam Kultural ini, ada dialog antara agama dan budaya. Nah, dari hasil dialog inilah agama menerima konsep kebangsaan secara utuh.
Bagaimana remaja kita saat ini dalam konteks budaya?
Kalau aku melihat remaja kita saat ini, sebenarnya aku merasa kasihan, seharusnya mereka lebih mengenal budaya sendiri daripada budaya asing. Seharusnya mereka menyukai Wayang dan bisa mengambil banyak pelajaran dan ajaran tentang nilai dan ahlak. Namun sayanmg, struktur lingkungan mereka sangat tidak mendukung. Setiap hari dan setiap saat pikiran mereka di jejali dengan budaya-budaya asing yang sangat tidak mendidik. Akibatnya adalah kedangkalan nalar fikir dan tingkah laku yang destruktif. Tawuran, miras, narkoba, pergaulan bebas, dal lain-lain.


Comments

Popular posts from this blog

PERKEMBANGAN METODOLOGI PENELITIAN

TEMBANG AQOID SEKET

LPM BURSA INISNU